Sabtu, 20 April 2013

Amanah Allah atas RasulNya


Amanah Allah atas RasulNya yang harus dipahami, ada dua bentuk amanah, yaitu “Sistem beribadah kepada Allah” dan “Sistem hukum bagi manusia”. Adapun penjelasan tentang dua perkara di atas adalah sebagai berikut :

1. Amanah berupa Sistem Beribadah kepada Allah

“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syariat) ini dan serulah (mereka) kepada Rabbmu. Sesungguhnya kamu (Muhammad) benar-benar beradapada petunjuk jalan yang lurus. “ (Qs. 2: 67 )

Maknanya, ada suatu kewajiban bagi setiap manusia yang telah menyatakan dirinya sebagai Muslim, untuk menepati sistem peribadahan kepada Allah menurut apa yang diajarkan Muhammad Rasulullah. Sistem ibadah dimaksud di sini mengarah kepada lima kewajiban pokok, yaitu syahadatain, menegakkan sholat, mendatangkan zakat, shoum pada bulan Ramadhan, dan berhaji bagi yang mampu. Kelima hal ini dalam bahasa Al Hadits dinyatakan sebagai Arkanun Islam (pembinaan keislaman).
Di sini dapat dipahami bersama bahwa hanya Muhammad Rasulullah sosok manusia yang mendapat izin dalam menjelaskan dan mencontohkan cara beribadah kepada Allah melalui hadits-haditsnya yang shahih. Tidak ada seorang manusia pun selain Nabi Muhammad SAW yang berhak mengeluarkan pendapatnya mengenai cara beribadah kepada Allah, meskipun seorang imam ataupun ulama terpandang, kecuali ia mengutipnya dari Al Qur-an dan Al Hadits yang shahih.
Dengan melihat lafadz sholat, zakat, shoum dan berhaji, di dalam Al Qur-an yang berkedudukan mujmal (ringkas). Artinya, perintah-perintah tersebut baru dapat difahami secara sempurna dan dilaksanakan secara benar setelah mempelajari keterangan dari Rasulullah Muhammad SAW. Hal ini dikarenakan Allah telah menetapkan rasul-Nya sebagai penjelas dan contoh praktik dalam beribadah. Oleh karena itu, satu ciri dari hadits yang shahih adalah matan atau isinya tidak pernah bertentangan dengan ayat-ayat Al Qur-an.
“Dan Tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”  (Qs. An Najm:4 )
Jika dalam praktik beribadah ini tidak merujuk kepada petunjuk Al Qur-an dan Hadits shahih bahkan mengambil dari hadits lemah (dho’if) apalagi palsu berarti telah berbuat bid'ah. Sedangkan setiap bid'ah dalam beribadah adalah sesat dan terancam dengan Neraka.

2. Amanah berupa Sistem Hukum bagi Umat Manusia


“Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (Ad Din itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. “ (Qs. 45:18 )

Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan Rasulullah berikut umatnya wajib untuk berada dalam “rel syari’at-Nya” dalam mengatur pola interaksi kehidupan, yaitu berlandaskan wahyu, bukan atas dasar nafsu, filsafat, dan logika manusia. Apabila diterapkan sistem hukum illahiyah, Allah jamin akan membawa bermacam kemakmuran dan kebahagian hidup bagi manusia itu sendiri. Sebaliknya, bila diabaikan perintah ini bahkan mengambil sistem hukum jahiliyah pasti akan membawa malapetaka, perpecahan, permusuhan dan kesengsaraan yang tidak mampu diatasi manusia manapun.
Analisis Hukum
Sebagaimana yang telah sama dipahami, Al Qur-an adalah wahyu dari Allah yang mempunyai ketetapan hukum mutlaq dan kedudukannya pada rutbah tertinggi (Qs. 39:23). Maka kedudukan Hadits Rasulullah adalah berada pada rutbah kedua setelah Al Qur-an. Betapapun tingginya derajat Hadits tersebut, keberadaannya tidak mungkin dapat melemahkan atau mengubah ketetapan hukum Al Qur-an karena kedudukannya menjelaskan Al Qur-an dan bukan mengada-ada.
Diterangkan dalam Qur-an surah al Maidah ayat 67 sebagai berikut :

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Robbmu, dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanatNya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.

Mengambil satu sisi dari maksud ayat di atas, yaitu perihal cara mencari ketetapan hukum dalam Islam,  Rasulullah telah menerangkan, anatara lain:
a. Hadits Shohih riwayat Thobrani dari jalan Abi Huroiroh, Rasulullah SAW bersabda :

Rasul bersabda: “Aturan hukum (Sunnah) itu ada dua macam; sunnah dalam hukum fardlu dan sunnah dalam hukum bukan fardlu, maka sunnah yang di dalam hukum fardlu itu sumbernya dalam Al Qur-an. Pengambilannya adalah petunjuk dan meninggalkannya hukumnya sesat. Sunnah yang sumber asalnya bukan dalam Kitabullah Ta'ala. Pengambilannya fadhillah (keutamaan) dan meninggalkannya tidak dipandang salah.” 

Penilaian : Adz Dzukhri dan Al Hakim menilai kedua hadits tersebut shohih dengan syarat Muslim. Ulama Ahli Hadits menilai sanadnya tsiqah dan matannya shohih.

b. Hadits Shohih riwayat Muslim dan Ahmad melalui jalan `Aisyah, Rasulullah bersabda :

“Bagaimana keadaan seseorang yang telah sampai kepada mereka dariku perkara yang aku beri kemurahan padanya, maka mereka membenci dan menjauhi darinya. Maka Demi Allah! Niscaya aku lebih tahu dengan urusan Allah dari mereka dan aku lebih sangat bertaqwa kepadaNya daripada mereka.”

Pembahasan
Analsis berdasarkan matan hadits tersebut, dapat dipahami bahwa dalam memahami keterangan dari Hadits Rasulullah saw, harus ditelusuri secara rinci tentang matan Hadits tersebut, yaitu :
1. Di antara rincian matan sebuah Hadits harus dapat mengamati nashnya dari Al Qur-a. Apabila ternyata secara utuh menjelaskan sesuatu yang memang ada tersebut dalam ayat Al Qur-an, hukumnya mutlaq, apakah itu dalam bentuk perintah atau larangan.
2. Apabila matan Hadits memuat beberapa rincian dan ternyata diantara rincian itu ada petunjuknya dalam Al Qur-an maka jelas dihukumkan Mutlaq sedangkan rincian lain yang tidak berdasar ayat langsung dari Al Qur-an maka berarti fadlilah  atau keutamaan.
3. Apabila matan Hadits itu berupa larangan atau perintah, tetapi nashnya dalam Al Qur-an tidak ada, maka dihukumkan Muqoyad. Karena pada dasarnya Rasulullah itu menjelaskan Al Qur-an berdasarkan wahyu dari Allah sebagaimana tercantum didalam Al Qur-an surah An Najm ayat 3 dan ayat 4.
4. Apabila dihadapkan dua pilihan dan keduanya adalah kemungkinan dalam bentuk perintah dan mungkin dalam bentuk larangan, sedangkan keduanya adalah sama-sama benar,  Al Qur-an memerintahkan mana yang paling mudah, sebagaimana petunjuk :

  • Dalam surah al Hajj ayat 78 bahwa Ad Din itu telah Allah tetapkan tidak ada kesempitan, tetapi justru bermuatan petunjuk yang menjelaskan tentang berbagai kemudahan dalam cara mengikuti petunjuk bagi menepati perintah Islam.
  • Dalam surah al Baqoroh ayat 185,  Allah menghendaki kemudahan dan bukan kesempitan.
  • Dalam Hadits Shohih riwayat Ahmad, Al Bukhori, Thobrani dari jalan Muhjan bin Al Adro; riwayat Thobrani dari jalan `Imron bin Khushain; riwayat Thobrani, Ibnu `Adi dan Adl Dliya dari jalan Anas; dan juga ditakhrijkan oleh Imam As Suyuthi dalam Al Jami' jilid II halaman 10.
Untuk diketahui, sesungguhnya dalam diri Rasulullah SAW itu secara keseluruhan merupakan wujud dari pengamalan Al Qur-an atau sosok Al Qur-an. Kemudian Rasulullah pula yang menerangkan tentang rincian hukum-hukumnya dengan tidak mungkin dia akan bertentangan atau berselisih dengan wahyu  Allah.